Langit ibukota begitu terang, bola-bola emas masih bersinar dengan teriknya membakar rambut yang tergelung kecil ditengah ubun-ubun Partini. Wanita penjual jamu keliling yang baru melepas seratus hari kematian suaminya, Darman seorang kuli sopir angkot di kawasan pasar rebo.
Hari naas itu begitu jelas melekat dalam benak Partini, hanya jarak 1 KM dari rumahnya di Karang Anyar mobil rombongan yang hendak mudik berlebaran di kampung halaman itu selip dan membentur gapura desa. Darman saat itu menumpang mobil tetangga satu desa dan kebetulan menawarkan diri untuk menyetir mobil sebagai balas jasanya. Si pemilik mobil dan keluarganya selamat tetapi Darman mengalami luka parah dan meninggal ditempat.
Bermingu-minggu Partini hanya bisa meringkuk di kamar setelah ditinggalkan suaminya. Syok yang begitu dalam membuatnya seperti orang linglung bahkan anak semata wayangnya pun tak dihiraukannya lagi. Wajahnya makin kusut badannya berubah drastis, kurus kering tak terawat.Hanya menangis dan melamun itu saja yang dilakukan tiap hari.
Maklum Partini sejak kecil hanyalah yatim piatu yang dibesarkan oleh neneknya, hingga berumur 21 tahun neneknya meninggal dan ia kembali sebatang kara hanya berwariskan rumah papan beralas tanah seluas 15x10 m.
Namun beberapa bulan kemudian hidupnya kembali cerah sejak bertemu Darman di acara pernikahan seorang teman sekolahnya semasa SD. Dan ternyata pertemuan itulah yang membawa nasibnya ke jalan yang lebih berirama, kehidupan sangat sederhana namun begitu nikmat terasa. Dan kebahagiaan itu kian sempurna dengan hadirnya anak lelaki yang kini menginjak usia 6tahun.
" Dek Par... Insya Alloh besok sebelum ashar aku sudah tiba di kampung. aku ikut bersama mobil keluarga Pak Jamal. Berhubung sopirnya juga pulang ke Lampung jadi aku sekalian diminta nyetir. Oya....sandal selop warna jambon yang pernah kamu lihat di Mall Cijantung dulu itu masih ingat kan? Waktu kamu aku ajak main ke Jakarta dulu....aku sudah membelinya lho dek. Kamu pasti keren pakai itu. "
SMS di layar HP tanpa kamera itu berkali-kali dibukanya. Itulah SMS terakhir yang dikirim suaminya sebelum berita duka itu datang pada siang harinya. Dan tiap kali matanya membaca deretan kalimat itu lagi-lagi airmatanya deras menganak sungai. Ditatapnya sepasang selop yang masih baru itu, kemudian ia masukkan kembali dalam kotak ia belum pernah memakainya dan hanya melihat jika sedang teringat mendiang suaminya. Beberapa bulan sebelumnya untuk pertama kali dalam hidup Partini menginjakkan kaki di Jakarta, suaminya memang sudah lama ingin mengajaknya melihat ibukota. dan saat itu ternampaklah oleh Darman mata istrinya tak lepas memandangi sepasang selop di kaca etalase di sebuah pusat perbelanjaan. Sejak itulah Darman bertekat untuk mendapatkan selop itu untuk istrinya jika nanti pulang kampung.
***
" Sudahlah Nduk, tidak baik berlama-lama meratapi kepergian suamimu. Lihat akupun sejak muda sudah jadi janda tapi aku masih bias membesarkan suamimu kan? Kau punya anak yang harus kau hidupi lihat ...kasihan dia jika kau terus-terusan begini." Mertua tunggal Partini berusaha membujuknya tiap saat.
Tinggal ibu mertua Partini lah satu-satunya orang yang menjadi penyemangatnya. Juga anak semata wayangnya itu seperti sebuah cambuk yang memecut nyalinya untuk bangkit dari keterpurukan. Akhirnya dengan bermodal sedikit uang tabungan dan keahlian meracik jamu yang dipelajari dari almarhum neneknya dulu Partini bertekat untuk merantau ke Jakarta. Ia yakin di sana peluang usahanya lebih besar dari pada tinggal di desa. Ia akan membuat dan menjual jamu gendong di sana. Dan berkat bantuan salah seorang tetangga Partini akhirnya bisa menyewa sebuah rumah petak di daerah Pasar Rebo. Mulanya pendapatan Partini tidak seberapa ia hanya berkeliling daerah sekitar pasar dan tempat tinggalnya saja. Namun karena keramahan dan kesupelannya bergaul iapun cepat mendapat banyak pelanggan. Biasanya mereka menyebutnya Mbak Par. Semakin hari Partini semakin professional menjalankan usahanya itu, kejujuran dan keramahan itulah yang ia pegang teguh. Kini dari segala penjuru sudah mengenal jamu Mbak Par. Selain segar, sehat juga kebersihan yang diuatamakan oleh penjualnya begitu memikat hati para pelanggan. Dan ada satu hal yang tak lepas dari diri Mbak Par...selop berwarna jambon yang tiap hari mengikuti kakinya berjalan menyusuri trotoar, gang-gang sempit terkadang juga genangan bekas air hujan. Seolah sepasang selop itu adalah penuntun langkah kakinya. Selop yang dibelikan suaminya tercinta.
Hingga di satu senja, matahari mulai meredup awan-awan berarak mengantar pergantian hari, sepasang kaki tergesa Partini menginjak sebuah benda berkulit coklat tua. Diraihnya sebuah dompet tebal di telapak kakinya dengan hati berdebar-debar. Astaghfirllah..!!! jantungnya semakin kencang berdetak, puluhan lembar uang pecahan seratus ribu terselip rapi juga bermacam-macam kartu tertata di dalam dompet kulit itu.
Antara nafsu memiliki dan rasa takut berkecamuk di hatinya, berkali-kali dibuka tutup dompet itu. Di satu sisi ia merasa berhak karena menemukan tanpa sengaja barang itu, tapi di sisi lain ia merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan ke pemiliknya yang menyelipkan secarik kartu nama ,alamat lengkap dan nomor telepon di dalamnya. Hampir semalaman ia tak dapat tidur hingga menjelang tengah malam kala terlelap ia melihat seraut wajah almarhum suaminya dalam mimpi, dalam mimpi itu ttampak wajah suaminya murung sambil menatap setumpuk uang di tangan Partini. Dengan air mata berderai dia menggeleng seolah menolak sesuatu yang dipegang istrinya kemudian menghilang. Partini terhenyak dari tidurnya, suara azan subuh dari spiker mushola sayup-sayup menyusup ke telinganya. Oh...mas Darman...maafkan aku mas, aku janji pasti akan mengembalikan barang ini. Partini segera menyingkap selimutnya lalu menuju ke belakang mengambil wudhu.
***
Di sebuah beranda rumah megah di satu komplek elite tampak dua orang tengah berbincang. Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan tak lepas menyungging senyum bahagia, ya dialah pemilik dompet yang ditemukan Partini, dan kini Partini sendiri yang mengantarkan dompet itu ke alamat yang tertera di kartu nama.
" Trimakasih sekali Mbak Partini, saya sungguh tidak menyangka barang saya ini bias kembali. Kalau boleh tahu Mbak Par tinggal di mana ya?"
Pria keren itu begitu akrab meski baru beberapa menit mengenal Partini, lain halnya dengan wanita itu yang tampak gugup dan rikuh duduk di sofa mewah berdepan dengan si tuan rumah.
" Saya mengontrak rumah di Kampung Gedong pak. "
Jawab Partini dengan sopan dan menunduk-nunduk.
Dari peristiwa itu Partini sering mendapat sapaan SMS dari si pria dari mulai sekedar mengucap selamat pagi, siang sore hingga menjelang tidur kini HP Mbak Par tak henti berdering. Kini bukan hanya sekedar pelanggan jamu yang mencarinya,tapi ada seorang pria duda muda kaya raya yang juga pemilik pabrik Sepatu yang cukup sukses setiap saat menanyakan keadaannya. Ge'er mungkin itulah yang dirasa Partini, tapi lambat laun hatinya pun mulai terbiasa dengan candaan pria yang biasa dipanggilnya dengan nama Pak Han. Beberapa kali Pak Han meminta Partini untuk libur berjualan, untuk sekedar menemaninya jalan-jalan. Tak jarang juga Pak Han mengajak Partini berkeliling mall dan menyuruhnya untuk memilih barang yang ia perlukan. Tapi selama itu Partini selalu menolak dengan halus. Pak Han adalah seorang duda yang ditinggalkan istrinya karena ia impoten dan istrinya telah menikahi kawan lamanya kini mereka sudah punya dua orang anak dan tinggal di Singapura.
Keakraban Mbak Par si penjual jamu gendong dengan Pak Han sang pengusaha kaya semakin hari semakin tampak di mata tetangga sekitar rumah kontrakan Partini. Beberapa kali malam minggu mereka melihat Pria itu menjemput Partini di mulut gang masuk kontrakan. Perasaan iri dengki pun mulai menyelinap di hati para tetangga wanita khususnya ibu-ibu yang dari dulu memang agak kontra dengan kehadiran warga baru bernama Partini. Hari demi hari keadaan kian berubah, Partini merasa sikap masyarakat sekitar berbalik 180 derajat dari sebelumnya. Akhir-akhir ini mereka sering mengacuhkan sapaan Partini, bahkan kaum laki-laki pun mulai jarang bertegur sapa dengannya. Di sekitar tempat tinggalnya Partini telah kehilangan nama, ia seperti orang asing yang tak pernah diakui kehadirannya, jamu yang dijajakannya selalu bersisa bahkan ada beberapa botol yang masih utuh isinya. Para pelanggan satu persatu mulai menjauh dan berhenti berlangganan jamunya karena mereka telah termakan gossip tentang Partini yang kini menjadi simpanan pria kaya.
Partini benar-benar terpuruk jangankan menyisihkan uang untuk mengirim ke anak dan mertua di kampung, sudah dua bulan kontrakannya belum terbayar karena jualannya tidak laku. Suatu malam pintu rumahnya diketuk, Pak RT, dan istrinya didampingi beberapa warga mendatanginya dan dengan terus terang keberatan dengan keberadaan Parti di daerah mereka, dan mereka memintanya untuk secepat mungkin meninggalkan daerah itu. Dihempaskan tubuh letihnya ke dipan, di pandanginya poto mendiang suaminya di dalam dompet yang sudah lusuh tanpa isi, airmatanya mengucur deras,
"Mas...Demi Tuhan aku tidak melakukan apapun dengan Pak han, dia itu baik dan tidak memintaku macam-macam. Jika ini sebuah kutukan aku akan menghilang dari pria itu mas. Aku akan pulang ke desa, aku ingin mengunjungimu mas aku rindu padamu. "
Di dekapnya erat-erat poto suaminya dengan air mata yang kian membanjiri bantal di kepalanya, tanpa menghiraukan HP yang belasan kali berdering dan menampilkan sebuah nomor berinisial Han.
***
Sore begitu teduh, angin semilir berhembus perlahan sesekali meniup kerudung Patini yang berjalan kaki pulang dari menziarahi pusara suaminya. Darahnya berdesir sesaat melihat sebuah Xenia yang begitu akrab dalam penglihatannya diparkir di tepi jalan tak jauh dari rumah mertuanya. Diamati sejenak mobil yang tertutup rapat itu tiada orang di dalamnya. Kemudian iapun mempercepat langkahnya memasuki area pekarangan depan rumah yang tampak sepi dari luar namun pintunya terbuka lebar. Sepasang sepatu hitam mengkilat diletakkan di atas keset sabut kelapa di depan pintu, dan ....alangkah terkejutnya Partini mendapati anak lelakinya tengah bermain mobil-mobilan dengan seorang pria yang tak asing lagi....
"Pak Haan..????"
Suara Parti tercekat di tenggorokan, ia tampak kebingungan mengarahkan pandangannya menhindari tatapan pria itu.Tiba-tiba tangan pria itu meraih pergelangan tangan Parti, Ia menyungging senyuman,senyum yang begitu teduh namun serasa menusuk jantung Partini, jemarinya bergetar dalam genggaman tangan halus Pak han. Sementara Agung anak lelakinya itu berdiri di belakang Pak Han sambil menatap wajah ibunya yang kebingungan.
" Bu...nanti Ayah mau ngajak kita dan nenek menjenguk bapak, trus ngajak kita jalan-jalan ke Jakarta."
Bocah 7 tahun itu memamerkan sebuah wajah penuh harap pada ibunya, seolah sebelum Partini datang ia telah banyak berbincang dengan Han.
" Ayah?? Ayah siapa maksudmu?" Bentak Partini
" Mbak Par....jangan kaget, saya jauh-jauh datang kesini dengan niat yang tulus untuk melamarmu menjadi istri, saya juga bersedia mengasuh Agung seperti anak saya sendiri, Juga ibu mertuamu akan menjadi ibuku, ibu kita....kita akan menjadi sebuah keluarga baru. Apakah Mbak Par bersedia ?"
Pertanyaan pria itu seperti gelombang dahsyat yang menghantam karang, namun terasa begitu menyejukkan hati Partini. Mulutnya tercekat, matanya berkaca-kaca dipandanginya wajah anaknya yang kini bergelayut dalam dekapan mertuanya. Senyum kerelaan tersungging di bibir wanita tua itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah pria di hadapannya itu dengan tanpa suara, pelupuk matanya terasa memanas dan bulir bening pun berjatuhan di pipinya yang bersih tanpa make up.
***