Sunday, September 29, 2013
Saturday, June 15, 2013
Lady Of The Rain
Desa Manguling adalah sebuah desa kecil yang dilanda hujan deras bertahun-tahun. Sebagian tanah sudah longsor dan tenggelam. Rumah penduduk, ternak dan tanaman banyak yang mati terendam banjir. Kepala desa pun meminta bantuan pada seorang dukun sakti bernama Bendo. Dan dengan kesaktian pawang Beno hujan pun lambat laun berkurang dan banjirpun mulai menyusut. Penduduk desa sangat gembira karena tanah mereka bisa ditanami kembali dan lambat laun kehidupan desa itu mulai subur makmur seperti sedia kala.
Tetapi tanpa diduga ternyata beberapa waktu lalu Pawang hujan itu tergoda melihat putri Kepala Desa yang cantik jelita bernama Mandagiri. Dan rupanya Si Pawang itu diam-diam menyimpan hasrat jahat untuk memiliki gadis itu.
Beno selain punya kesaktian sebagai pawang hujan ia juga dikenal sebagai dukun tua hidung belang. Kendati sudah memiliki tujuh istri ia masih gemar memburu gadis-gadis muda dan cantik untuk dijadikan wanita penghiburnya.
" Anak Manis , jadilah istriku maka apapun yang kau mau pasti terpenuhi." Rayu Si Beno suatu hari ketika mendatangi rumah Kepala Desa. Hari itu Mandagiri hanya seorang diri ketika ayahnya sedang berkebun.
"Aku tidak sudi menjadi wanita simpananmu Beno. Pergi dari sini." Tolak Mandagiri dengan geram.
Mendengar penolakan gadis itu Beno pun naik pitam.
"Hahahaha....gadis miskin sepertimu berani menolakku. Gadis bodoh. Lihat bapakmu itu apa yang bisa kau harap dari nya. Hahahaha ikutlah bersamaku manis...kau akan menjadi ratu...ayo...kemarilah...."
Beno terus merayu dan memaksa Mandagiri, gadis itu berteriak-teriak kencang melawan Beno. Beberapa penduduk mendengar teriakan Mandagiri namun mereka takut untuk menolongnya karena yang mereka hadapi adalah seorang dukun sakti. Beberapa orang memutuskan untuk pergi menyusul Kepala desa di kebundan memberitahu apa yang terjadi di rumahnya. Mendengar laporan para penduduk itu Kepala desa terkejut dan marah dan segeralah ia berlari pulang dengan muka merah padam.
"Apa yang kau lakukan di rumahku Beno? Kurang ajar kau beraninya mengganggu putriku." Teriak Kepala Desa dengan lantang.
"Hahahaha Pak Tua berikanlah anakmu yang cantik ini padaku akan kuberikan untukmu uang emas dan tanah yang luas untikmu. Tak perlu lagi kau susah payah berkebun begini." Bujuk Si Pawang Beno dengan angkuh dan sombong.
"Cuihh...aku tidak sudi menjual putriku pada lelaki bajingan sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau penduduk desa ini akan mengeroyokmu."
Ancam Kepala desa sambil menunjuk halaman rumahnya yang telah dipenuhi oleh penduduk desa yang dilanda kemarahan.
"Pergi Beno...!pergi dukun sialan...!pergi dukun cabul tak tahu malu!!" Para penduduk berteriak-teriak sambil mengacungkan senjata ditangan mereka mengancam Beno dan dua orang anakbuahnya.
Akhirnya Beno dan anakbuahnya keluar dan naik ke atas punggung kudanya, dengan marah ia berkata, "Kalian memang orang desa yang tak mau diuntung. Baiklah aku akan pergi dari desa sial ini. Tapi kalian jangan menyesal jika nanti kalian semua menderita.''
Beno memejamkan mata,mulutnya komat-kamit membaca mantra sedang kedua tangannya menadah menunjuk kearah matahari. Tiba-tiba matahari terasa semakin dekat diatas kepala. Langit menjadi sangat panas.
"Hahahahaha ....aku kutuk desa ini agar kemarau selama-lamanya. Hahahaha rasakan olehmu wahai orang-orang desa bodoh. Hahahaha!!"
***
sejak saat itu desa Mangiling menjadi kekeringan sepanjang musim. Sungai-sungai kering, tanaman penduduk layu dan mati tak ada yang bisa dipanen. Tanah menjadi tandus dan retak karena tak pernah tersiram air.Bertahun-tahun sudah hujan tak turun sedikitpun.
Sementara Mandagiri dan ayahnya merasa berdosa pada penduduk desa, karena penolakannya terhadap dukun Beno telah menyebabkan bencana bagi para warga dan desanya sendiri. Rasa berdosa dan tekanan batin yang teramat berat membuat Kepala desa pun jatuh sakit dan meninggal dunia. Mandagiri semakin sedih dan menderita sepeninggal ayahnya. Sementara keadaan desa semakin memburuk dan hampir musnah.
Suatu malam Mandagiri duduk menangis seorang diri di depan pintu rumahnya. Malam begitu sepi tak seorangpun yang tampak melewati depan rumahnya. Diam-diam gadis itu berjalan ke arah bukit. Sampai di atas tebing yang curam ia berhenti. Dia menengadahkan wajahnya ke langit dan berdo'a kepada Sang Dewa untuk menolongnya. Ia hendak menebus kesalahannya dengan nyawanya sendiri. Ia berdiri tegak dan memejamkan kedua matanya lalu melompat terjun dalam sekelip mata. Tiba-tiba sebuah bayanyan cahaya menangkap tubuhnya yang melayang jatuh. Mandagiri tak sadarkan diri.
***
"hah...siapa kau...darimana kau tahu namaku?" Jawab Mandagiri terkejut dan ketakutan.
"Aku Dewi Megandari aku yang menyambar tubuhmu sewaktu terjun dari tebing semalam."
"Oh...kenapa tak kau biarkan saja tubuhku hancur di dasar jurang. Tak ada guna lagi aku hidup. Aku hanya perempuan pembawa petaka."
Mandagiri jatuh bersimpuh di tepi telaga, air matanya bercucuran jatuh ke dalam telaga. Seketika dari tetesan airmata itu mekar sekuntum teratai putih yang harum semerbak. Kemudian dari sela-sela kelopaknya tersembul gugusan asap putih bersih seperti dupa.
Kepulan asap putih itu semakin tebal menjadi awan berarak mendekati Mandagiri, kemudian membentuk seperti seorang perempuan memakai tiara di kepala. Dari sela-sela gumpalan awan memancarkan sinar-sinar kecil berkerlipan seperti permata. Wanita jelmaan awan itu tak lain adalah Dewi Megandari, dewi penguasa Telaga Awan.
"Jangan takut Mandagiri. Kau masih hidup dan sedang berada di istana Telaga Awan." Dewi itu berkata lembut pada Mandagiri yang masih duduk menangis tersedu.
"Aku tak mau lagi hidup. Aku gadis pembawa sial."
"Siapa yang menganggapmu pembawa sial anak manis. Coba lihat lah di sana!" Ucap Dewi Megandari sambil menunjuk ke arah telaga kemudian memukulkan tongkatnya ke permukaan air dan seketika nampaklah Desa Manguling dari dasar telaga itu.
Mandagiri sangat terkejut ternyata penduduk desa semua sibuk mencari dirinya. Ya penduduk desa Manguling sangat menyayangi ayahnya sebagai Kepala desa yang arif dan bijaksana juga pemurah. Keluarga Mandagiri selalu ringan tangan gemar membantu pada penduduk desa. Dan rupanya sejak menghilangnya Mandagiri mereka sibuk mencari siang dan malam. Beberapa orang ibu-ibu tampak berkumpul di rumah Mandagiri. Ada yang membakar dupa sepertinya mereka sedang mengadakan upacara do'a. Perlahan kerinduan pada desanya pun muncul dalam benak gadis itu. Ia tak menyangka ternyata penduduk masih peduli padanya.
"Nah. Mandagiri sekarang pulanglah ke desamu. Karena hanya kau yang bisa mengakhiri kemarau akibat kutukan dukun jahat Beno." Ucap Dewi Megandari.
"Hah..benarkah kutukan itu bisa diakhiri. Tolonglah aku wahai dewi. Aku ingin menebus kesalahanku pada penduduk desa Manguling."
Dewi Megandari mengangguk lalu mengambil sekuntum teratai yang tumbuh dari tetesan air mata Mandagiri, yang menjadi tempat kemunculannya dari telaga. Kemudian diserahkannya kepada Mandagiri.
"Bawalah bunga teratai ini pulang. kemudian tancapkan di halaman rumahmu." Perintah Dewi Megandari.
Kemudian sang Dewi memukulkan lagi tongkatnya ke permukaan telaga. Dan terbukalah sebuah pintu gua dari dasar telaga itu. Lalu Dewi Megandari menyuruh Mandagiri untuk memasuki pintu tersebut. Dan sebaik saja gadis itu memasuki pintu tua seketika itu pula ia telah berdiri di halaman rumahnya. Rumah itu tampak kotor dan berserakan. Seperti telah lama tidak berpenghuni. Mandagiri hampir saja tak mengenali rumah itu. Gadis itu melihat sekeliling kemudian membuka pintu perlahan. Ternyata isi rumahnya masih utuh seperti dulu. Tak lama kemudian ia keluar dan terlihatlah oleh seorang wanita tua penduduk desa. Sontak orang itupun terkejut dan langsung bersiar ke seluruh desa bahwa Mandagiri sudah pulang ke rumahnya. Dalam sekejap seluruh penduduk telah berkumpul di halaman rumah Mandagiri.
"Syukurlah Nduk...kamu bisa kembali dalam keadaan selamat. Sudan Setahun kami mencarimu di seluruh pelosok . Malam itu kami menemukan sobekan kainmu di atas bukit. kami berpikir kau telah terjun tetapi kami tak menemukanmu di dasar tebing." Ungkap salah seorang penduduk wanita paruh baya.
Ternyata kepergian mandagiri dalam waktu semalaman di Istana Telaga Awan sebenarnya adalah masa satu tahun waktu di bumi. Kemudian gadis itupun menceritakan pertemuannya dengan Dewi Megandari. Seusai bercerita ia berjalan ke tengah halaman dan meminta beberapa orang untuk menyingkir. Lalu ditancapkan bunga teratai pemberian Dewi Megandari itu ke tanah. Tiba-tiba tanah itu berlobang membentuk cerukan yang makin besar. Mandagiri dan para penduduk lari menepi hingga posisi mereka berdiri mengitari cerukan besar itu. Sementara langit berubah gelap mendung tebal bergulung memayungi tempat mereka berdiri. Gerimis pun turun dan semakin deras menggenangi cerukan yang kini tampak seperti telaga. Ditengah telaga tampak sekuntum teratai yang ditancapkan oleh Mandagiri mengambang tersembul ke permukaan air. Seluruh penduduk bersorak gembira akhirnya kutukan Pawang Beno telah berakhir, dan desa Manguling terairi kembali . Tanahnya subur, hasil tanaman dan ternak pun meningkat. Penduduk hidup rukun damai,gemah ripah lohjinawi.
Tahun Demi tahun pun berlalu keadaan, Desa Manguling semakin berkembang dari generasi ke generasi. Sementara di sebuah rumah tua yang terpencil ditepi telaga yang indah tinggallah seorang gadis cantik yang hidup menepi dari keramain. Dialah Mandagiri yang kekal sebagai perawan muda jelita karena keabadian Dewi Megandari telah menitis dalam dirinya. Penduduk setempat menyebutnya Gadis Titisan Dewi Hujan.
Tetapi tanpa diduga ternyata beberapa waktu lalu Pawang hujan itu tergoda melihat putri Kepala Desa yang cantik jelita bernama Mandagiri. Dan rupanya Si Pawang itu diam-diam menyimpan hasrat jahat untuk memiliki gadis itu.
Beno selain punya kesaktian sebagai pawang hujan ia juga dikenal sebagai dukun tua hidung belang. Kendati sudah memiliki tujuh istri ia masih gemar memburu gadis-gadis muda dan cantik untuk dijadikan wanita penghiburnya.
" Anak Manis , jadilah istriku maka apapun yang kau mau pasti terpenuhi." Rayu Si Beno suatu hari ketika mendatangi rumah Kepala Desa. Hari itu Mandagiri hanya seorang diri ketika ayahnya sedang berkebun.
"Aku tidak sudi menjadi wanita simpananmu Beno. Pergi dari sini." Tolak Mandagiri dengan geram.
Mendengar penolakan gadis itu Beno pun naik pitam.
"Hahahaha....gadis miskin sepertimu berani menolakku. Gadis bodoh. Lihat bapakmu itu apa yang bisa kau harap dari nya. Hahahaha ikutlah bersamaku manis...kau akan menjadi ratu...ayo...kemarilah...."
Beno terus merayu dan memaksa Mandagiri, gadis itu berteriak-teriak kencang melawan Beno. Beberapa penduduk mendengar teriakan Mandagiri namun mereka takut untuk menolongnya karena yang mereka hadapi adalah seorang dukun sakti. Beberapa orang memutuskan untuk pergi menyusul Kepala desa di kebundan memberitahu apa yang terjadi di rumahnya. Mendengar laporan para penduduk itu Kepala desa terkejut dan marah dan segeralah ia berlari pulang dengan muka merah padam.
"Apa yang kau lakukan di rumahku Beno? Kurang ajar kau beraninya mengganggu putriku." Teriak Kepala Desa dengan lantang.
"Hahahaha Pak Tua berikanlah anakmu yang cantik ini padaku akan kuberikan untukmu uang emas dan tanah yang luas untikmu. Tak perlu lagi kau susah payah berkebun begini." Bujuk Si Pawang Beno dengan angkuh dan sombong.
"Cuihh...aku tidak sudi menjual putriku pada lelaki bajingan sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau penduduk desa ini akan mengeroyokmu."
Ancam Kepala desa sambil menunjuk halaman rumahnya yang telah dipenuhi oleh penduduk desa yang dilanda kemarahan.
"Pergi Beno...!pergi dukun sialan...!pergi dukun cabul tak tahu malu!!" Para penduduk berteriak-teriak sambil mengacungkan senjata ditangan mereka mengancam Beno dan dua orang anakbuahnya.
Akhirnya Beno dan anakbuahnya keluar dan naik ke atas punggung kudanya, dengan marah ia berkata, "Kalian memang orang desa yang tak mau diuntung. Baiklah aku akan pergi dari desa sial ini. Tapi kalian jangan menyesal jika nanti kalian semua menderita.''
Beno memejamkan mata,mulutnya komat-kamit membaca mantra sedang kedua tangannya menadah menunjuk kearah matahari. Tiba-tiba matahari terasa semakin dekat diatas kepala. Langit menjadi sangat panas.
"Hahahahaha ....aku kutuk desa ini agar kemarau selama-lamanya. Hahahaha rasakan olehmu wahai orang-orang desa bodoh. Hahahaha!!"
***
sejak saat itu desa Mangiling menjadi kekeringan sepanjang musim. Sungai-sungai kering, tanaman penduduk layu dan mati tak ada yang bisa dipanen. Tanah menjadi tandus dan retak karena tak pernah tersiram air.Bertahun-tahun sudah hujan tak turun sedikitpun.
Sementara Mandagiri dan ayahnya merasa berdosa pada penduduk desa, karena penolakannya terhadap dukun Beno telah menyebabkan bencana bagi para warga dan desanya sendiri. Rasa berdosa dan tekanan batin yang teramat berat membuat Kepala desa pun jatuh sakit dan meninggal dunia. Mandagiri semakin sedih dan menderita sepeninggal ayahnya. Sementara keadaan desa semakin memburuk dan hampir musnah.
Suatu malam Mandagiri duduk menangis seorang diri di depan pintu rumahnya. Malam begitu sepi tak seorangpun yang tampak melewati depan rumahnya. Diam-diam gadis itu berjalan ke arah bukit. Sampai di atas tebing yang curam ia berhenti. Dia menengadahkan wajahnya ke langit dan berdo'a kepada Sang Dewa untuk menolongnya. Ia hendak menebus kesalahannya dengan nyawanya sendiri. Ia berdiri tegak dan memejamkan kedua matanya lalu melompat terjun dalam sekelip mata. Tiba-tiba sebuah bayanyan cahaya menangkap tubuhnya yang melayang jatuh. Mandagiri tak sadarkan diri.
***
Di sebuah kuil yang indah dikelilingi telaga yang bening dan sejuk. Mandagiri perlahan membuka mata, di pandanginya sekeliling. Tempat yang asing namun begitu memukau. Gadis itu bangun kemudian berjalan-jalan di tepi telaga.
"Selamat datang Mandagiri." Tiba-tiba terdengar suara seorang Wanita memanggil tanpa wujud."hah...siapa kau...darimana kau tahu namaku?" Jawab Mandagiri terkejut dan ketakutan.
"Aku Dewi Megandari aku yang menyambar tubuhmu sewaktu terjun dari tebing semalam."
"Oh...kenapa tak kau biarkan saja tubuhku hancur di dasar jurang. Tak ada guna lagi aku hidup. Aku hanya perempuan pembawa petaka."
Mandagiri jatuh bersimpuh di tepi telaga, air matanya bercucuran jatuh ke dalam telaga. Seketika dari tetesan airmata itu mekar sekuntum teratai putih yang harum semerbak. Kemudian dari sela-sela kelopaknya tersembul gugusan asap putih bersih seperti dupa.
Kepulan asap putih itu semakin tebal menjadi awan berarak mendekati Mandagiri, kemudian membentuk seperti seorang perempuan memakai tiara di kepala. Dari sela-sela gumpalan awan memancarkan sinar-sinar kecil berkerlipan seperti permata. Wanita jelmaan awan itu tak lain adalah Dewi Megandari, dewi penguasa Telaga Awan.
"Jangan takut Mandagiri. Kau masih hidup dan sedang berada di istana Telaga Awan." Dewi itu berkata lembut pada Mandagiri yang masih duduk menangis tersedu.
"Aku tak mau lagi hidup. Aku gadis pembawa sial."
"Siapa yang menganggapmu pembawa sial anak manis. Coba lihat lah di sana!" Ucap Dewi Megandari sambil menunjuk ke arah telaga kemudian memukulkan tongkatnya ke permukaan air dan seketika nampaklah Desa Manguling dari dasar telaga itu.
Mandagiri sangat terkejut ternyata penduduk desa semua sibuk mencari dirinya. Ya penduduk desa Manguling sangat menyayangi ayahnya sebagai Kepala desa yang arif dan bijaksana juga pemurah. Keluarga Mandagiri selalu ringan tangan gemar membantu pada penduduk desa. Dan rupanya sejak menghilangnya Mandagiri mereka sibuk mencari siang dan malam. Beberapa orang ibu-ibu tampak berkumpul di rumah Mandagiri. Ada yang membakar dupa sepertinya mereka sedang mengadakan upacara do'a. Perlahan kerinduan pada desanya pun muncul dalam benak gadis itu. Ia tak menyangka ternyata penduduk masih peduli padanya.
"Nah. Mandagiri sekarang pulanglah ke desamu. Karena hanya kau yang bisa mengakhiri kemarau akibat kutukan dukun jahat Beno." Ucap Dewi Megandari.
"Hah..benarkah kutukan itu bisa diakhiri. Tolonglah aku wahai dewi. Aku ingin menebus kesalahanku pada penduduk desa Manguling."
Dewi Megandari mengangguk lalu mengambil sekuntum teratai yang tumbuh dari tetesan air mata Mandagiri, yang menjadi tempat kemunculannya dari telaga. Kemudian diserahkannya kepada Mandagiri.
"Bawalah bunga teratai ini pulang. kemudian tancapkan di halaman rumahmu." Perintah Dewi Megandari.
Kemudian sang Dewi memukulkan lagi tongkatnya ke permukaan telaga. Dan terbukalah sebuah pintu gua dari dasar telaga itu. Lalu Dewi Megandari menyuruh Mandagiri untuk memasuki pintu tersebut. Dan sebaik saja gadis itu memasuki pintu tua seketika itu pula ia telah berdiri di halaman rumahnya. Rumah itu tampak kotor dan berserakan. Seperti telah lama tidak berpenghuni. Mandagiri hampir saja tak mengenali rumah itu. Gadis itu melihat sekeliling kemudian membuka pintu perlahan. Ternyata isi rumahnya masih utuh seperti dulu. Tak lama kemudian ia keluar dan terlihatlah oleh seorang wanita tua penduduk desa. Sontak orang itupun terkejut dan langsung bersiar ke seluruh desa bahwa Mandagiri sudah pulang ke rumahnya. Dalam sekejap seluruh penduduk telah berkumpul di halaman rumah Mandagiri.
"Syukurlah Nduk...kamu bisa kembali dalam keadaan selamat. Sudan Setahun kami mencarimu di seluruh pelosok . Malam itu kami menemukan sobekan kainmu di atas bukit. kami berpikir kau telah terjun tetapi kami tak menemukanmu di dasar tebing." Ungkap salah seorang penduduk wanita paruh baya.
Ternyata kepergian mandagiri dalam waktu semalaman di Istana Telaga Awan sebenarnya adalah masa satu tahun waktu di bumi. Kemudian gadis itupun menceritakan pertemuannya dengan Dewi Megandari. Seusai bercerita ia berjalan ke tengah halaman dan meminta beberapa orang untuk menyingkir. Lalu ditancapkan bunga teratai pemberian Dewi Megandari itu ke tanah. Tiba-tiba tanah itu berlobang membentuk cerukan yang makin besar. Mandagiri dan para penduduk lari menepi hingga posisi mereka berdiri mengitari cerukan besar itu. Sementara langit berubah gelap mendung tebal bergulung memayungi tempat mereka berdiri. Gerimis pun turun dan semakin deras menggenangi cerukan yang kini tampak seperti telaga. Ditengah telaga tampak sekuntum teratai yang ditancapkan oleh Mandagiri mengambang tersembul ke permukaan air. Seluruh penduduk bersorak gembira akhirnya kutukan Pawang Beno telah berakhir, dan desa Manguling terairi kembali . Tanahnya subur, hasil tanaman dan ternak pun meningkat. Penduduk hidup rukun damai,gemah ripah lohjinawi.
Tahun Demi tahun pun berlalu keadaan, Desa Manguling semakin berkembang dari generasi ke generasi. Sementara di sebuah rumah tua yang terpencil ditepi telaga yang indah tinggallah seorang gadis cantik yang hidup menepi dari keramain. Dialah Mandagiri yang kekal sebagai perawan muda jelita karena keabadian Dewi Megandari telah menitis dalam dirinya. Penduduk setempat menyebutnya Gadis Titisan Dewi Hujan.
***
BIODATA:
Musafir Biru atau biasa dipanggil Roro dilahirkan 21 April 32tahun lalu,berasal dari Jember-Jatim. Bukan penulis hanya perempuan biasa yang ingin mengisi waktu luangnya dengan belajar menulis. Beberapa karyanya dibukukan dalam beberapa buku antologi puisi dan cerpen.
penulis bisa dihubungi di
Monday, June 10, 2013
kekasih abadan
kau kekasih yang tak pernah mati,
meski kuhunjam dengan sembilu mawar berduri
di ulu sepimu berkalikali
masih juga kau bangkit,
meraga sukma dalam ruh puisi
lantas membukakan tirai dari nisan sepi
di teduh pagi cahaya
memercik embun dari ranum wangi kamboja
memayungi rindu di basah tanah nirwana
vihara suci cinta membuhul do'a
meski kuhunjam dengan sembilu mawar berduri
di ulu sepimu berkalikali
masih juga kau bangkit,
meraga sukma dalam ruh puisi
lantas membukakan tirai dari nisan sepi
di teduh pagi cahaya
memercik embun dari ranum wangi kamboja
memayungi rindu di basah tanah nirwana
vihara suci cinta membuhul do'a
Thursday, May 09, 2013
belum ada judul
Langit ibukota begitu terang, bola-bola emas masih bersinar dengan teriknya membakar rambut yang tergelung kecil ditengah ubun-ubun Partini. Wanita penjual jamu keliling yang baru melepas seratus hari kematian suaminya, Darman seorang kuli sopir angkot di kawasan pasar rebo.
Hari naas itu begitu jelas melekat dalam benak Partini, hanya jarak 1 KM dari rumahnya di Karang Anyar mobil rombongan yang hendak mudik berlebaran di kampung halaman itu selip dan membentur gapura desa. Darman saat itu menumpang mobil tetangga satu desa dan kebetulan menawarkan diri untuk menyetir mobil sebagai balas jasanya. Si pemilik mobil dan keluarganya selamat tetapi Darman mengalami luka parah dan meninggal ditempat.
Bermingu-minggu Partini hanya bisa meringkuk di kamar setelah ditinggalkan suaminya. Syok yang begitu dalam membuatnya seperti orang linglung bahkan anak semata wayangnya pun tak dihiraukannya lagi. Wajahnya makin kusut badannya berubah drastis, kurus kering tak terawat.Hanya menangis dan melamun itu saja yang dilakukan tiap hari.
Maklum Partini sejak kecil hanyalah yatim piatu yang dibesarkan oleh neneknya, hingga berumur 21 tahun neneknya meninggal dan ia kembali sebatang kara hanya berwariskan rumah papan beralas tanah seluas 15x10 m.
Namun beberapa bulan kemudian hidupnya kembali cerah sejak bertemu Darman di acara pernikahan seorang teman sekolahnya semasa SD. Dan ternyata pertemuan itulah yang membawa nasibnya ke jalan yang lebih berirama, kehidupan sangat sederhana namun begitu nikmat terasa. Dan kebahagiaan itu kian sempurna dengan hadirnya anak lelaki yang kini menginjak usia 6tahun.
" Dek Par... Insya Alloh besok sebelum ashar aku sudah tiba di kampung. aku ikut bersama mobil keluarga Pak Jamal. Berhubung sopirnya juga pulang ke Lampung jadi aku sekalian diminta nyetir. Oya....sandal selop warna jambon yang pernah kamu lihat di Mall Cijantung dulu itu masih ingat kan? Waktu kamu aku ajak main ke Jakarta dulu....aku sudah membelinya lho dek. Kamu pasti keren pakai itu. "
SMS di layar HP tanpa kamera itu berkali-kali dibukanya. Itulah SMS terakhir yang dikirim suaminya sebelum berita duka itu datang pada siang harinya. Dan tiap kali matanya membaca deretan kalimat itu lagi-lagi airmatanya deras menganak sungai. Ditatapnya sepasang selop yang masih baru itu, kemudian ia masukkan kembali dalam kotak ia belum pernah memakainya dan hanya melihat jika sedang teringat mendiang suaminya. Beberapa bulan sebelumnya untuk pertama kali dalam hidup Partini menginjakkan kaki di Jakarta, suaminya memang sudah lama ingin mengajaknya melihat ibukota. dan saat itu ternampaklah oleh Darman mata istrinya tak lepas memandangi sepasang selop di kaca etalase di sebuah pusat perbelanjaan. Sejak itulah Darman bertekat untuk mendapatkan selop itu untuk istrinya jika nanti pulang kampung.
***
" Sudahlah Nduk, tidak baik berlama-lama meratapi kepergian suamimu. Lihat akupun sejak muda sudah jadi janda tapi aku masih bias membesarkan suamimu kan? Kau punya anak yang harus kau hidupi lihat ...kasihan dia jika kau terus-terusan begini." Mertua tunggal Partini berusaha membujuknya tiap saat.
Tinggal ibu mertua Partini lah satu-satunya orang yang menjadi penyemangatnya. Juga anak semata wayangnya itu seperti sebuah cambuk yang memecut nyalinya untuk bangkit dari keterpurukan. Akhirnya dengan bermodal sedikit uang tabungan dan keahlian meracik jamu yang dipelajari dari almarhum neneknya dulu Partini bertekat untuk merantau ke Jakarta. Ia yakin di sana peluang usahanya lebih besar dari pada tinggal di desa. Ia akan membuat dan menjual jamu gendong di sana. Dan berkat bantuan salah seorang tetangga Partini akhirnya bisa menyewa sebuah rumah petak di daerah Pasar Rebo. Mulanya pendapatan Partini tidak seberapa ia hanya berkeliling daerah sekitar pasar dan tempat tinggalnya saja. Namun karena keramahan dan kesupelannya bergaul iapun cepat mendapat banyak pelanggan. Biasanya mereka menyebutnya Mbak Par. Semakin hari Partini semakin professional menjalankan usahanya itu, kejujuran dan keramahan itulah yang ia pegang teguh. Kini dari segala penjuru sudah mengenal jamu Mbak Par. Selain segar, sehat juga kebersihan yang diuatamakan oleh penjualnya begitu memikat hati para pelanggan. Dan ada satu hal yang tak lepas dari diri Mbak Par...selop berwarna jambon yang tiap hari mengikuti kakinya berjalan menyusuri trotoar, gang-gang sempit terkadang juga genangan bekas air hujan. Seolah sepasang selop itu adalah penuntun langkah kakinya. Selop yang dibelikan suaminya tercinta.
Hingga di satu senja, matahari mulai meredup awan-awan berarak mengantar pergantian hari, sepasang kaki tergesa Partini menginjak sebuah benda berkulit coklat tua. Diraihnya sebuah dompet tebal di telapak kakinya dengan hati berdebar-debar. Astaghfirllah..!!! jantungnya semakin kencang berdetak, puluhan lembar uang pecahan seratus ribu terselip rapi juga bermacam-macam kartu tertata di dalam dompet kulit itu.
Antara nafsu memiliki dan rasa takut berkecamuk di hatinya, berkali-kali dibuka tutup dompet itu. Di satu sisi ia merasa berhak karena menemukan tanpa sengaja barang itu, tapi di sisi lain ia merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan ke pemiliknya yang menyelipkan secarik kartu nama ,alamat lengkap dan nomor telepon di dalamnya. Hampir semalaman ia tak dapat tidur hingga menjelang tengah malam kala terlelap ia melihat seraut wajah almarhum suaminya dalam mimpi, dalam mimpi itu ttampak wajah suaminya murung sambil menatap setumpuk uang di tangan Partini. Dengan air mata berderai dia menggeleng seolah menolak sesuatu yang dipegang istrinya kemudian menghilang. Partini terhenyak dari tidurnya, suara azan subuh dari spiker mushola sayup-sayup menyusup ke telinganya. Oh...mas Darman...maafkan aku mas, aku janji pasti akan mengembalikan barang ini. Partini segera menyingkap selimutnya lalu menuju ke belakang mengambil wudhu.
***
Di sebuah beranda rumah megah di satu komplek elite tampak dua orang tengah berbincang. Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan tak lepas menyungging senyum bahagia, ya dialah pemilik dompet yang ditemukan Partini, dan kini Partini sendiri yang mengantarkan dompet itu ke alamat yang tertera di kartu nama.
" Trimakasih sekali Mbak Partini, saya sungguh tidak menyangka barang saya ini bias kembali. Kalau boleh tahu Mbak Par tinggal di mana ya?"
Pria keren itu begitu akrab meski baru beberapa menit mengenal Partini, lain halnya dengan wanita itu yang tampak gugup dan rikuh duduk di sofa mewah berdepan dengan si tuan rumah.
" Saya mengontrak rumah di Kampung Gedong pak. "
Jawab Partini dengan sopan dan menunduk-nunduk.
Dari peristiwa itu Partini sering mendapat sapaan SMS dari si pria dari mulai sekedar mengucap selamat pagi, siang sore hingga menjelang tidur kini HP Mbak Par tak henti berdering. Kini bukan hanya sekedar pelanggan jamu yang mencarinya,tapi ada seorang pria duda muda kaya raya yang juga pemilik pabrik Sepatu yang cukup sukses setiap saat menanyakan keadaannya. Ge'er mungkin itulah yang dirasa Partini, tapi lambat laun hatinya pun mulai terbiasa dengan candaan pria yang biasa dipanggilnya dengan nama Pak Han. Beberapa kali Pak Han meminta Partini untuk libur berjualan, untuk sekedar menemaninya jalan-jalan. Tak jarang juga Pak Han mengajak Partini berkeliling mall dan menyuruhnya untuk memilih barang yang ia perlukan. Tapi selama itu Partini selalu menolak dengan halus. Pak Han adalah seorang duda yang ditinggalkan istrinya karena ia impoten dan istrinya telah menikahi kawan lamanya kini mereka sudah punya dua orang anak dan tinggal di Singapura.
Keakraban Mbak Par si penjual jamu gendong dengan Pak Han sang pengusaha kaya semakin hari semakin tampak di mata tetangga sekitar rumah kontrakan Partini. Beberapa kali malam minggu mereka melihat Pria itu menjemput Partini di mulut gang masuk kontrakan. Perasaan iri dengki pun mulai menyelinap di hati para tetangga wanita khususnya ibu-ibu yang dari dulu memang agak kontra dengan kehadiran warga baru bernama Partini. Hari demi hari keadaan kian berubah, Partini merasa sikap masyarakat sekitar berbalik 180 derajat dari sebelumnya. Akhir-akhir ini mereka sering mengacuhkan sapaan Partini, bahkan kaum laki-laki pun mulai jarang bertegur sapa dengannya. Di sekitar tempat tinggalnya Partini telah kehilangan nama, ia seperti orang asing yang tak pernah diakui kehadirannya, jamu yang dijajakannya selalu bersisa bahkan ada beberapa botol yang masih utuh isinya. Para pelanggan satu persatu mulai menjauh dan berhenti berlangganan jamunya karena mereka telah termakan gossip tentang Partini yang kini menjadi simpanan pria kaya.
Partini benar-benar terpuruk jangankan menyisihkan uang untuk mengirim ke anak dan mertua di kampung, sudah dua bulan kontrakannya belum terbayar karena jualannya tidak laku. Suatu malam pintu rumahnya diketuk, Pak RT, dan istrinya didampingi beberapa warga mendatanginya dan dengan terus terang keberatan dengan keberadaan Parti di daerah mereka, dan mereka memintanya untuk secepat mungkin meninggalkan daerah itu. Dihempaskan tubuh letihnya ke dipan, di pandanginya poto mendiang suaminya di dalam dompet yang sudah lusuh tanpa isi, airmatanya mengucur deras,
"Mas...Demi Tuhan aku tidak melakukan apapun dengan Pak han, dia itu baik dan tidak memintaku macam-macam. Jika ini sebuah kutukan aku akan menghilang dari pria itu mas. Aku akan pulang ke desa, aku ingin mengunjungimu mas aku rindu padamu. "
Di dekapnya erat-erat poto suaminya dengan air mata yang kian membanjiri bantal di kepalanya, tanpa menghiraukan HP yang belasan kali berdering dan menampilkan sebuah nomor berinisial Han.
***
Sore begitu teduh, angin semilir berhembus perlahan sesekali meniup kerudung Patini yang berjalan kaki pulang dari menziarahi pusara suaminya. Darahnya berdesir sesaat melihat sebuah Xenia yang begitu akrab dalam penglihatannya diparkir di tepi jalan tak jauh dari rumah mertuanya. Diamati sejenak mobil yang tertutup rapat itu tiada orang di dalamnya. Kemudian iapun mempercepat langkahnya memasuki area pekarangan depan rumah yang tampak sepi dari luar namun pintunya terbuka lebar. Sepasang sepatu hitam mengkilat diletakkan di atas keset sabut kelapa di depan pintu, dan ....alangkah terkejutnya Partini mendapati anak lelakinya tengah bermain mobil-mobilan dengan seorang pria yang tak asing lagi....
"Pak Haan..????"
Suara Parti tercekat di tenggorokan, ia tampak kebingungan mengarahkan pandangannya menhindari tatapan pria itu.Tiba-tiba tangan pria itu meraih pergelangan tangan Parti, Ia menyungging senyuman,senyum yang begitu teduh namun serasa menusuk jantung Partini, jemarinya bergetar dalam genggaman tangan halus Pak han. Sementara Agung anak lelakinya itu berdiri di belakang Pak Han sambil menatap wajah ibunya yang kebingungan.
" Bu...nanti Ayah mau ngajak kita dan nenek menjenguk bapak, trus ngajak kita jalan-jalan ke Jakarta."
Bocah 7 tahun itu memamerkan sebuah wajah penuh harap pada ibunya, seolah sebelum Partini datang ia telah banyak berbincang dengan Han.
" Ayah?? Ayah siapa maksudmu?" Bentak Partini
" Mbak Par....jangan kaget, saya jauh-jauh datang kesini dengan niat yang tulus untuk melamarmu menjadi istri, saya juga bersedia mengasuh Agung seperti anak saya sendiri, Juga ibu mertuamu akan menjadi ibuku, ibu kita....kita akan menjadi sebuah keluarga baru. Apakah Mbak Par bersedia ?"
Pertanyaan pria itu seperti gelombang dahsyat yang menghantam karang, namun terasa begitu menyejukkan hati Partini. Mulutnya tercekat, matanya berkaca-kaca dipandanginya wajah anaknya yang kini bergelayut dalam dekapan mertuanya. Senyum kerelaan tersungging di bibir wanita tua itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah pria di hadapannya itu dengan tanpa suara, pelupuk matanya terasa memanas dan bulir bening pun berjatuhan di pipinya yang bersih tanpa make up.
***
Subscribe to:
Posts (Atom)