Saturday, June 15, 2013

Lady Of The Rain

          Desa Manguling adalah sebuah desa kecil yang dilanda hujan deras bertahun-tahun. Sebagian tanah sudah longsor dan tenggelam. Rumah penduduk, ternak dan tanaman banyak yang mati terendam banjir. Kepala desa pun meminta bantuan pada seorang dukun sakti bernama Bendo. Dan dengan kesaktian pawang Beno hujan pun lambat laun berkurang dan banjirpun mulai menyusut. Penduduk desa sangat gembira karena tanah mereka bisa ditanami kembali dan lambat laun kehidupan desa itu mulai subur makmur seperti sedia kala.
Tetapi tanpa diduga ternyata beberapa waktu lalu Pawang hujan itu tergoda melihat putri Kepala Desa yang cantik jelita bernama Mandagiri. Dan rupanya Si Pawang itu diam-diam menyimpan hasrat jahat untuk memiliki gadis itu.
Beno selain punya kesaktian sebagai pawang hujan ia juga dikenal sebagai dukun tua hidung belang. Kendati sudah memiliki tujuh istri ia masih gemar memburu gadis-gadis muda dan cantik untuk dijadikan wanita penghiburnya.
          " Anak Manis , jadilah istriku maka apapun yang kau mau pasti terpenuhi." Rayu Si Beno suatu hari ketika mendatangi rumah Kepala Desa. Hari itu Mandagiri hanya seorang diri ketika ayahnya sedang berkebun.
          "Aku tidak sudi menjadi wanita simpananmu Beno. Pergi dari sini." Tolak Mandagiri dengan geram.
Mendengar penolakan gadis itu Beno pun naik pitam.
          "Hahahaha....gadis miskin sepertimu berani menolakku. Gadis bodoh. Lihat bapakmu itu apa yang bisa kau harap dari nya. Hahahaha ikutlah bersamaku manis...kau akan menjadi ratu...ayo...kemarilah...."
Beno terus merayu dan memaksa Mandagiri, gadis itu berteriak-teriak kencang melawan Beno. Beberapa penduduk mendengar teriakan Mandagiri namun mereka takut untuk menolongnya karena yang mereka hadapi adalah seorang dukun sakti. Beberapa orang memutuskan untuk pergi menyusul Kepala desa di kebundan memberitahu apa yang terjadi di rumahnya. Mendengar laporan para penduduk itu Kepala desa terkejut dan marah dan segeralah ia berlari pulang dengan muka merah padam.
          "Apa yang kau lakukan di rumahku Beno? Kurang ajar kau beraninya mengganggu putriku." Teriak Kepala Desa dengan lantang.
          "Hahahaha Pak Tua berikanlah anakmu yang cantik ini padaku akan kuberikan untukmu uang emas dan tanah yang luas untikmu. Tak perlu lagi kau susah payah berkebun begini." Bujuk Si Pawang Beno dengan angkuh dan sombong.
          "Cuihh...aku tidak sudi menjual putriku pada lelaki bajingan sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau penduduk desa ini akan mengeroyokmu."
Ancam Kepala desa sambil menunjuk halaman rumahnya yang telah dipenuhi oleh penduduk desa yang dilanda kemarahan.
          "Pergi Beno...!pergi dukun sialan...!pergi dukun cabul tak tahu malu!!" Para penduduk berteriak-teriak sambil mengacungkan senjata ditangan mereka mengancam Beno dan dua orang anakbuahnya.
Akhirnya Beno dan anakbuahnya keluar dan naik ke atas punggung kudanya, dengan marah ia berkata, "Kalian memang orang desa yang tak mau diuntung. Baiklah aku akan pergi dari desa sial ini. Tapi kalian jangan menyesal jika nanti kalian semua menderita.''
Beno memejamkan mata,mulutnya komat-kamit membaca mantra sedang kedua tangannya menadah menunjuk kearah matahari. Tiba-tiba matahari terasa semakin dekat diatas kepala. Langit menjadi sangat panas.
          "Hahahahaha ....aku kutuk desa ini agar kemarau selama-lamanya. Hahahaha rasakan olehmu wahai orang-orang desa bodoh. Hahahaha!!"

                                                                               ***

          sejak saat itu desa Mangiling menjadi kekeringan sepanjang musim. Sungai-sungai kering, tanaman penduduk layu dan mati tak ada yang bisa dipanen. Tanah menjadi tandus dan retak karena tak pernah tersiram air.Bertahun-tahun sudah hujan tak turun sedikitpun.
Sementara Mandagiri dan ayahnya merasa berdosa pada penduduk desa, karena penolakannya terhadap dukun Beno telah menyebabkan bencana bagi para warga dan desanya sendiri. Rasa berdosa dan tekanan batin yang teramat berat membuat Kepala desa pun jatuh sakit dan meninggal dunia. Mandagiri semakin sedih dan menderita sepeninggal ayahnya. Sementara keadaan desa semakin memburuk dan hampir musnah.
          Suatu malam Mandagiri duduk menangis seorang diri di depan pintu rumahnya. Malam begitu sepi tak seorangpun yang tampak melewati depan rumahnya. Diam-diam gadis itu berjalan ke arah bukit. Sampai di atas tebing yang curam ia berhenti. Dia menengadahkan wajahnya ke langit dan berdo'a kepada Sang Dewa untuk menolongnya. Ia hendak menebus kesalahannya dengan nyawanya sendiri. Ia berdiri tegak dan memejamkan kedua matanya lalu melompat terjun dalam sekelip mata. Tiba-tiba sebuah bayanyan cahaya menangkap tubuhnya yang melayang jatuh. Mandagiri tak sadarkan diri.

                                                                           ***

           Di sebuah kuil yang indah dikelilingi telaga yang bening dan sejuk. Mandagiri perlahan membuka mata, di pandanginya sekeliling. Tempat yang asing namun begitu memukau. Gadis itu bangun kemudian berjalan-jalan di tepi telaga.
           "Selamat datang Mandagiri." Tiba-tiba terdengar suara seorang Wanita memanggil tanpa wujud.
           "hah...siapa kau...darimana kau tahu namaku?" Jawab Mandagiri terkejut dan ketakutan.
           "Aku Dewi Megandari aku yang menyambar tubuhmu sewaktu terjun dari tebing semalam."
           "Oh...kenapa tak kau biarkan saja tubuhku hancur di dasar jurang. Tak ada guna lagi aku hidup. Aku hanya perempuan pembawa petaka."
          Mandagiri jatuh bersimpuh di tepi telaga, air matanya bercucuran jatuh ke dalam telaga. Seketika dari tetesan airmata itu mekar sekuntum teratai putih yang harum semerbak. Kemudian dari sela-sela kelopaknya tersembul gugusan asap putih bersih seperti dupa.
Kepulan asap putih itu semakin tebal menjadi awan berarak mendekati Mandagiri, kemudian membentuk seperti seorang perempuan memakai tiara di kepala. Dari sela-sela gumpalan awan memancarkan sinar-sinar kecil berkerlipan seperti permata. Wanita jelmaan awan itu tak lain adalah Dewi Megandari, dewi penguasa Telaga Awan.
          "Jangan takut Mandagiri. Kau masih hidup dan sedang berada di istana Telaga Awan." Dewi itu berkata lembut pada Mandagiri yang masih duduk menangis tersedu.
          "Aku tak mau lagi hidup. Aku gadis pembawa sial."
          "Siapa yang menganggapmu pembawa sial anak manis. Coba lihat lah di sana!" Ucap Dewi Megandari sambil menunjuk ke arah telaga kemudian memukulkan tongkatnya ke permukaan air dan seketika nampaklah Desa Manguling dari dasar telaga itu.
Mandagiri sangat terkejut ternyata penduduk desa semua sibuk mencari dirinya. Ya penduduk desa Manguling sangat menyayangi ayahnya sebagai Kepala desa yang arif dan bijaksana juga pemurah. Keluarga Mandagiri selalu ringan tangan gemar membantu pada penduduk desa. Dan rupanya sejak menghilangnya Mandagiri mereka sibuk mencari siang dan malam. Beberapa orang ibu-ibu tampak berkumpul di rumah Mandagiri. Ada yang membakar dupa sepertinya mereka sedang mengadakan upacara do'a. Perlahan kerinduan pada desanya pun muncul dalam benak gadis itu. Ia tak menyangka ternyata penduduk masih peduli padanya.
            "Nah. Mandagiri sekarang pulanglah ke desamu. Karena hanya kau yang bisa mengakhiri kemarau akibat kutukan dukun jahat Beno." Ucap Dewi Megandari.
            "Hah..benarkah kutukan itu bisa diakhiri. Tolonglah aku wahai dewi. Aku ingin menebus kesalahanku pada penduduk desa Manguling."
Dewi Megandari mengangguk lalu mengambil sekuntum teratai yang tumbuh dari tetesan air mata Mandagiri, yang menjadi tempat kemunculannya dari telaga. Kemudian diserahkannya kepada Mandagiri.
           "Bawalah bunga teratai ini pulang. kemudian tancapkan di halaman rumahmu." Perintah Dewi Megandari.
Kemudian sang Dewi memukulkan lagi tongkatnya ke permukaan telaga. Dan terbukalah sebuah pintu gua dari dasar telaga itu. Lalu Dewi Megandari menyuruh Mandagiri untuk memasuki pintu tersebut. Dan sebaik saja gadis itu memasuki pintu tua seketika itu pula ia telah berdiri di halaman rumahnya. Rumah itu tampak kotor dan berserakan. Seperti telah lama tidak berpenghuni. Mandagiri hampir saja tak mengenali rumah itu. Gadis itu melihat sekeliling kemudian membuka pintu perlahan. Ternyata isi rumahnya masih utuh seperti dulu. Tak lama kemudian ia keluar dan terlihatlah oleh seorang wanita tua penduduk desa. Sontak orang itupun terkejut dan langsung bersiar ke seluruh desa bahwa Mandagiri sudah pulang ke rumahnya. Dalam sekejap seluruh penduduk telah berkumpul di halaman rumah Mandagiri.
            "Syukurlah Nduk...kamu bisa kembali dalam keadaan selamat. Sudan Setahun kami mencarimu di seluruh pelosok . Malam itu kami menemukan sobekan kainmu di atas bukit. kami berpikir kau telah terjun tetapi kami tak menemukanmu di dasar tebing." Ungkap salah seorang penduduk wanita paruh baya.
           Ternyata kepergian mandagiri dalam waktu semalaman di Istana Telaga Awan sebenarnya adalah masa satu tahun waktu di bumi. Kemudian gadis itupun menceritakan pertemuannya dengan Dewi Megandari. Seusai bercerita ia berjalan ke tengah halaman dan meminta beberapa orang untuk menyingkir. Lalu ditancapkan bunga teratai pemberian Dewi Megandari itu ke tanah. Tiba-tiba tanah itu berlobang membentuk cerukan yang makin besar. Mandagiri dan para penduduk lari menepi hingga posisi mereka berdiri mengitari cerukan besar itu. Sementara langit berubah gelap mendung tebal bergulung memayungi tempat mereka berdiri. Gerimis pun turun dan semakin deras menggenangi cerukan yang kini tampak seperti telaga. Ditengah telaga tampak sekuntum teratai yang ditancapkan oleh Mandagiri mengambang tersembul ke permukaan air. Seluruh penduduk bersorak gembira akhirnya kutukan Pawang Beno telah berakhir, dan desa Manguling terairi kembali . Tanahnya subur, hasil tanaman dan ternak pun meningkat. Penduduk hidup rukun damai,gemah ripah lohjinawi.
           Tahun Demi tahun pun berlalu keadaan, Desa Manguling semakin berkembang dari generasi ke generasi. Sementara di sebuah rumah tua yang terpencil ditepi telaga yang indah tinggallah seorang gadis cantik yang hidup menepi dari keramain. Dialah Mandagiri yang kekal sebagai perawan muda jelita karena keabadian Dewi Megandari telah menitis dalam dirinya. Penduduk setempat menyebutnya Gadis Titisan Dewi Hujan.

                                                                           ***



BIODATA:
Musafir Biru atau biasa dipanggil Roro dilahirkan 21 April 32tahun lalu,berasal dari Jember-Jatim. Bukan penulis hanya perempuan biasa yang ingin mengisi waktu luangnya dengan belajar menulis. Beberapa karyanya dibukukan dalam beberapa buku antologi puisi dan cerpen.
penulis bisa dihubungi di




Monday, June 10, 2013

kekasih abadan

kau kekasih yang tak pernah mati,
meski kuhunjam dengan sembilu mawar berduri
di ulu sepimu berkalikali
masih juga kau bangkit,
meraga sukma dalam ruh puisi
lantas membukakan tirai dari nisan sepi

di teduh pagi cahaya
memercik embun dari ranum wangi kamboja
memayungi rindu di basah tanah nirwana
vihara suci cinta membuhul do'a